Bunga

dengar resapi camkan dan jangan berhenti
karna sebuah pertanyaan perlahan menghampiri
mendekat dan merusak sistem kerja otak kiri
setiap detik bergetar menusuk rusuk di hati
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
kembali teringat raut wajahmu di angan
taburan cinta mengikuti sebuah senyuman
tapi dalam hati ini tak bisa ungkapkan
nyaliku menyiut, terlalu siang tuk diucapkan
sekali lagi kuingin kau mengerti
rasa cinta ini sungguh sangat menyakiti
tapi ku hanya makhluk yg tak bermateri
dipandang sebelah mata, tak punya reputasi
* seakan mataku tertutup
  ku ingin cinta ini dapat kau sambut
  harapkan perasaan ini kau tahu
  sungguh ku ingin kau jadi milikku
ingin sekali ku katakan ”aku suka padamu”
namun cinta ini siksa jika ku gak ada kamu
hendak jiwa kan mengikatmu di sisi
namun berat tuk mengucap, cukup untuk kukagumi
a b c d, ku harap kau mengerti
semua ini bukan cerita narasi deskripsi
hanya perasaan suka namun sulit hati berkata
bukan fiktif, sedikit naif, hanya sebuah realita
cinta ini derita, ku harap kau juga merasa
apa yg kurasa tanpa banyak tanda tanya
rasa ini fakta, selektif bukan posesif
ku tak ingin berdusta, ku cinta kau bunga
repeat *

Biodata Personel SMASH

SM?SH atau SMASH adalah boyband fenomenal yang muncul di penghujung tahun 2010 lalu. Grup yang beranggotakan 7 orang ini — Morgan, Ilham, Reza, Dicky, Rafael, Bisma, dan Rangga — bisa dikatakan sebagai tonggak kebangkitan kembali grup band berformat boyband yang dulu pernah dipopulerkan oleh Trio Libels, Coboy, Cool Colors, dan sebagainya. Memulai debutnya di YouTube dengan video klip lagu “I Heart You”, SMASH memang langsung mendapat respon dari banyak pengguna internet, baik positif maupun negatif. Bak gayung bersambut, SCTV menggaet mereka untuk perform di Inbox, yang sekaligus merupakan debut publik mereka yang pertama kalinya.
Ada beberapa kisah unik di balik nama SMASH dan juga single hits pertama mereka itu. Pertama adalah ternyata nama SMASH merupakan kepanjangan dari Seven Man As Seven Heroes. Keren, yah? Dengan menggunakan nama tersebut, band yang semua personelnya, kecuali Morgan, berdomisili di Bandung ini, ingin menginspirasi anak muda untuk berkarya secara positif. Lagu “I Heart U” sendiri ternyata aslinya adalah theme song dari OZRadio Bandung yang diciptakan oleh beberapa orang penyiarnya, termasuk di antaranya Sogi yang beken di serial Extravaganza TransTV. Tembang ini pun sempat memberi kontroversi gara-gara intronya yang sangat mirip dengan lagu “Baby” milik Justin Bieber. Untuk mengatasinya, sekitar awal 2011, lagu “I Heart U” ditampilkan dalam versi baru dengan melodi intro yang berbeda.

Di bulan Maret, SMASH merilis single kedua mereka yang diberi judul “Senyum Semangat”. Menariknya, jika disimak baik-baik liriknya, lagu ini semacam tanggapan mereka terhadap komentar-komentar negatif yang mereka terima selama ini. Coba simak salah satu cuplikan liriknya:
tak peduli ku di-bully, omongan lu gue beli
cacian lu gue cuci dengan senyuman prestasi
tak pernah ku malu karna cibiranmu
ku jadikan motivasi untuk maju
no more mellow say no to galau
no more tears say no to fear
Beberapa fakta lain seputar SM?SH:
  • Reza dan Ilham merupakan saudara kandung dimana Reza adalah kakak dari Ilham.
  • Dicky, Ilham, dan Reza pernah mengikuti event dance bareng Cinta Laura.
  • Background video klip SM?SH sengaja berwarna putih karena mereka ingin memberikan kesan fresh dan bersih sebagai pendatang baru.
  • Reza, Dicky dan Ilham yang masih berstatus sebagai siwa SMA

Nah, sebagai pelengkap, berikut ini biodata / profil lengkap dari para personel SMASH.
Morgan Oey (Handi Morgan Winata)
Tempat Tanggal Lahir: Singkawang, 25 Mei 1990
Tinggi/berat badan: 178 cm/65 kg
Hobi: Nyanyi, renang
Agama: Katolik
Pendidikan: Universitas Bina Nusantara, jurusan IT
M. Ilham Fauzi E
Tempat Tanggal Lahir: Kendari, 29 Agustus 1995
Tinggi/berat badan: 170cm/56 kg
Hobi: Nyanyi, Dance
Agama: Islam
Pendidikan: SMAN 1 Bandung
Dicky Muhammad Prasetya
Tempat Tanggal Lahir: Bandung, 18 Juni 1993
Tinggi/berat badan: 170 cm/48 kg
Hobi: Dengerin musik
Agama: Islam
Pendidikan: SMA BPI 1, Bandung
Rafael Tan (Rafael Landry Tanubrata)
Tempat Tanggal Lahir: Garut, 16 November 1986
Tinggi/berat badan: 178 cm/68 kg
Hobi: Jalan-jalan
Agama: Katolik
Pendidikan: Universitas Kristen Maranatha Bandung
Rangga Moela (Rangga Dewamoela Soekarta)
Tempat Tanggal Lahir: Voorburg, Belanda, 6 Januari 1988
Tinggi/berat badan: 170 cm/60 kg
Hobi: Jalan-jalan, nongkrong
Agama: Islam
Pendidikan: Universitas Katolik Parahyangan Bandung, jurusan Hukum
Bisma Katisma
Tempat Tanggal Lahir: Bandung, 27 November 1990
Tinggi/berat badan: 169 cm/51 kg
Hobi: Berkarya
Agama: Islam
Pendidikan: Unikom Bandung, jurusan Desain Komunikasi Visual
Reza Anugrah
Tempat Tanggal Lahir: Kendari, 21 Maret 1994
Tinggi/berat badan: 172 cm/55 kg
Hobi: Nonton DVD
Agama: Islam
Pendidikan: SMAN 6 Bandung

Ketegangan mencekam

Seorang Duta Besar Afrika sedang di Jamu oleh Duta Besar Rusia di negaranya…Mereka berkeliling-keliling negara Rusia mengunjungi.. tempat-tempat bersejarah seperti Lapangan Merah .sampai ke daerah kerja paksa orang-orang hukuman.
Tidak lupa sang Duta Besar diajak makan-makan yang enak seperti telur ikan yang terkenal di Rusia sampai kunjungan enak-enak yang lainnya. Menjelang kepulangannya ke Afrika…si Rusia memperkenalkan Permainan Russian Roulette kepada si Afrika…. (Russian Roulette=Judi dengan Pistol Revolver 6 isian tapi hanya diisi 1(satu) peluru yang akan ditembakkan kekepala sendiri setelah memutar revolvernya). Mendapatkan tawaran itu si Afrika sangat terkejut dan ketakutan, tapi demi menghormati Tuan Rumah dengan menyembunyikan Rasa Takut nya si Afrika memberanikan diri untuk
mencobanya….diputarnya isi revolver… kkkerrrrrrrkkk.. Kemudian diarahkan pistol tersebut kekepalanya ….dan klik…… selamatlah si Afrika …..pistol tidak terpicu pada selongsong revolver yang ada isinya, selanjutnya pulanglah si Afrika kenegaranya…
Dua bulan kemudian giliran si Rusia berkunjung ke Afrika ….begitu juga maka si Afrika mengajak Russia berkeliling Safari mengunjungi daerah-daerah satwa Binatang-binatang yang memang merupakan kekayaan Afrika….dan tidak lupa diajaknya makan-makan yang enak dengan buah-buahan yang segar sampe kunjungan enak-enak yang lainnya…..
Menjelang kepulangan si Russia kenegaranya maka si Afrika memperkenalkan Afrikan Roulette kepada si Russia……dan kata si Afrika kepada si Russia….sambil memperkenalkan 6 Gadis-gadis Cantik afrika dalam keadaan bugil tanpa benang sehelaipun ditubuhnya….”Silahkan Tuan
Ambassador memilih salah satu dari 6 Gadis tercantik di Afrika ini untuk
melakukan Oral seks untuk Tuan”. Wah…si Russia dengan tersenyum malu-malu ……bertanya kepada si Afrika “Lho dimana ketegangan yang mencekam seperti permainan Rusian Roulette di
negara saya?” Maka selanjutnya Si Afrika menjelaskan :”Oooo… ketegangan yang mencekam adalah bahwa salah satu gadis-gadis tersebut masih termasuk Etnis Kanibal”

Seorang pemuda dan Hitler

Pada suatu hari,di jerman, Hitler pergi ke sebuah bioskop.dia hendak menonton pemutaran film perjuangan Nazi ,yamg tentunya,mengisahkan tentang Hitler itu sendiri,sesuai dengan praturan pada saat itu.
Dengan menyamar sebagai pemuda miskin ia ,masuk dan duduk di bagian depan…ketika acara hendak dimulai ,seperti biasa pengunjung berdiri dan memberi hormat. Saking terharunya melihat kesetiaan rakyatnya tanpa sadar ia menangis,tetapi seorang pemuda yang berdiri disampingnya menegurnya ..
Pemuda itu berkata, “hei kenapa kamu tidak berdiri? Saya mengerti perasaan kamu terhadap ‘bajingan’ itu,tapi apa daya.kita di kelilingi oleh para penembak gelapnya …..”

Dikasih uang jajan

Ada seorang peternak sapi yang cukup berhasil dan punya beratus-ratus ekor sapi. Pada suatu hari datanglah seorang petugas peternakan yang menyamardan bertanya “setiap hari sapi-sapi ini bapak beri makan apa?”. Peternak ” oh saya beri makan rumput-rumput saja”,
“kalo begitu bapak saya denda karena telah memberi makan sapi-sapi ini secara tidak layak” kata si petugas. “Bapak saya denda 2 juta”.
Akhirnya selang beberapa hari kemudian petugas tadi datang kembali dan menanyakan hal yang sama kepada si peternak. “Bapak beri makan apa sapi-sapi ini.??” kata si petugas .
Si peternak menjawab ” saya beri makan keju, hamburger, & susu”
“kalo begitu bapak saya denda 3 juta rupiah karena memberi makan diluar batas sewajarnya…!!” kata si petugas.
Akhirnya seminggu kemudian datang lagi si petugas menayakan hal sama kepaada si peternak. “bapak beri makan apa sapi-sapi ini..??” tanya si petugas. Akhirnya karena takut di denda lagi si peternak menjawab
” begini pak setiap hari semua sapi-sapi ini saya beri uang masing-masing
tiga ribu rupiah, terserah mereka mau makan dimana….!!!!”

Hitam segalanya

Alkisah di negara Afrika sana, manusia yang paling hitam adalah yang paling hebat! Hitam dalam arti hitam segala-galanya, itulah Negro Sejati! Ada 3 orang anak kecil yang sedang membandingkan kehitaman Bapaknya.
Anak yang ke 1 : ” Babe gue kemarin sedang ngupas Apel, eh..tangannya
terluka, DARAH nya HITAM!!!!…
Anak yang ke 2 : “Papi ku kemarin sedang benerin Parabola,eh..terjatuh
sampai patah tulang, TULANG nya HITAM !!!”
Anak yang ke 3, nggak mau kalah hebat : “Hm.. itu belum seberapa,tadi
malam waktu kami sedang nonton TV diruang keluarga, tiba-tiba Bokap
gua KENTUT, …..e-eh,…tiba tiba seluruh ruangan jadi GELAP !!!!!!”

Indonesia tetep canggih

Dalam rapat perkembangan teknologi abad-21, ada utusan dari indonesia, jepang dan amerika. Amerika melihatkan kemajuan teknologinya.
Saat ada telpon masuk, Amerika tidak lagi menggunakan hp, tapi memegang kancing bajunya dan berbicara.
Orang Indonesia heran “Wuih gila loe yach, bisa kayak gitu”
Orang jepang langsung nyeletuk, “Wach punyaku lebih gila lagi nich….”dan kemudian dengan jari jempol dan kelinking orang jepang itu menelpon rekannya, ck..ck…’ memang gila nich…,”kata orang indonesia itu dengan rasa kagumnya. akhirnya orang indonesia ini bingung, apa yang akan ditunjukkan kepada kedua rekannya itu. tiba-tiba orang indonesia ini menggetarkan badannya dan matanya merem melek. orang amrik dan jepang bingung, lantas bertanya,” hi..hi… kamu sedang ngapain…..”
“Hus diam !!! fax sedang masuk nich….!!!” kata orang indonesia

Kamu mengaku saja

Seorang guru Sejarah memberikan pertanyaan kepada murid-muridnya,
“Anak-anak, siapa yang menulis Pancasila dan UUD 1945?”
Murid-murid semua diam seribu bahasa. Karena hingga menjelang usai jam pelajaran belum satu murid pun menjawab, sang guru marah dan akhirnya menghukum seluruh muridnya berjemur di lapangan upacara hingga sore hari. Salah seorang murid tersebut, sebut saja Anto, tiba di rumah dengan menangis tersedu-sedu. Ayahnya yang keheranan bertanya,
“To, kenapa kamu? Berkelahi?”
Anto menjawab, “Bukan Pak, tapi kami dihukum jemur oleh pak Guru.” Ayahnya bertanya lagi, “Kenapa sampai dihukum?”
Anto menjawab, “Kami tidak menjawab siapa yang menulis Pancasila dan UUD 1945, pak” Tiba-tiba muka sang Ayah merah padam dan menampar anaknya itu sembari menghardik,
“Kenapa tidak mengaku saja kamu yang menulisnya!!!”

Kebiasaan Makan di Pesawat

Kebiasaan makan dipesawat terbang …….

Bila selesai makan, garpu dan sendok :

1. disilangkan = penumpang dari Amerika

2. sejajar = penumpang dari benua Eropa

3. Sejajar diluar piring = penumpang dari Jepang

4. hilang = penumpang dari Indonesia

Murid SD Dengan Gurunya

Anto yang duduk dibangku SD ditanya Bu Fanny, Gurunya
Bu Fanny : Anto, ada 5 bebek yang lagi mencari makan disawah. Kalo ditembak pemburu,
kena satu yang tinggal berapa ?
Setelah berpikir sejenak, si Anto menjawab “Ga ada sisanya bu ”
Bu Fanny bertanya “kenapa ga ada sisanya ?”
Si Anto menjawab” yang lain terbang semua karena kaget”
Bu Fanny tersenyum bijak dan berkata “yah, sebetulnya bukan itu jawabannya. tapi saya suka cara
berpikir kamu ”

Labirin Kecil

Semburan cat spray beragam warna berhamburan membasahi baju-baju seragam putih kami, membentuk garis-garis penanda sebuah kebebasan. Kami bersorak saling menyalami satu sama lain. Merayakan sesuatu yang kami sebut kelulusan. Sesekali juga spidol besar bertinta hitam menghujam dan menghujani tubuh kami dengan berbagai kata-kata kenangan. Tak ada yang mengelak, bahkan masing-masing kami terus meminta. Meminta dibubuhi sekedar tanda tangan dan kalimat-kalimat perayaan di dada, lengan, kerah dan seluruh bagian yang belum bergurat dan berwarna. Kepada siapa saja, bahkan yang tak pernah dekat sekalipun. Semua menjadi satu dalam rangkaian kebahagiaan keberhasilan di hari terakhir ujian.

Ipang yang paling bersemangat, apalagi pada baju-baju siswa perempuan. Ia salah satu teman sekelasku yang berhasil membuat rekor terbanyak dijemur di tengah lapangan sepanjang sejarah lima belas tahun berdirinya MTs Al-Islamiyah. Namanya terpampang besar-besar di papan pengumuman sekolah sebagai siswa yang memiliki catatan datang terlambat paling banyak dan sempat terancam dikembalikan ke orang tuanya. Di sini, di MTs Al-Islamiyah orang pantang menyebut kata-kata dikeluarkan. Tabu dan memalukan, benar-benar terhina jika terhukum demikian.

“Ustad, sini mana baju lu, biar gue buatin kata mutiara yang nggak bakal elu lupain seumur hidup!” ucapnya sambil menarik bajuku dari belakang, kemudian mulai mencorat-coret di bagian yang masih kosong.

“Jangan kata-kata kotor ya!” sungutku cepat takut-takut ia menulis yang macam-macam.
“Tenang, nggak pantes kalau di baju ini mah.”

Ipang tertawa, tangannya masih gesit menulis tiap kata. Rasanya sangat panjang, aku begitu tidak sabar ingin segera membuka baju untuk membacanya.

Riuh ramai di sekitarku dengan cepat redam, lalu tiba-tiba sunyi. Beberapa anak berlarian ke segala arah hendak menyelamatkan diri. Aku dengan cepat menengadahkan wajahku yang dari tadi menunduk menunggu Ipang selesai dengan esaynya. Mataku terbelalak mengikuti desir nadi yang meningkat dengan cepat. Jantungku berseragam dengan urat di pergelangan tanganku itu, kini organ terpenting di bagian dada sebelah kiri itu memompa darahku makin cepat dan tak terkendali. Wajahku tiba-tiba pucat dan kelu.

Pak Muksin berdiri melotot dengan tatapan yang sangat menakutkan bersama seorang petugas keamanan yang berdiri di sebelahnya dengan sebuah pentungan dari rotan terjinjing di tangan kirinya. Mereka menatapku dan yang lainnya yang kini hanya bisu dan mematung terjerat sorot nyinyir guru BP itu. Ipang juga ternyata tidak sempat menyelamatkan diri, ia berdiri disampingku sambil meremas-remas bajuku gemetaran. Sempat kulirik wajahnya yang kini mulai basah oleh keringat dingin.
“Jongkok semua!” teriak Pak Muksin.

Kami beringsut tunduk, kaki-kaki ini tiba-tiba begitu lemah dan gemetaran. Tak sanggup aku membayangkan kejadian itu. Seluruh tulang seperti mencair dan meleleh.

“Pak, catat nama-nama mereka. Lalu giring anak-anak berandal ini ke tengah lapangan sekolah. Biar mereka tahu bagaimana akibat dari perbuatan mempermalukan diri sendiri,” dengan lantang dan tanpa keraguan sedikit pun Pak Muksin menjatuhkan vonis pertama untuk kami.

Kami terdiam dalam kepasrahan sambil terus berdoa semoga hukuman yang akan diterima tidak akan membuat kami kehilangan kesempatan mendapatkan ijasah. Kini hanya tersisa belasan siswa termasuk aku dari sekitar tiga puluhan orang. Betapa beruntung mereka yang sempat menyadari kehadiran Pak Muksin sebelum tertangkap basah. Kami yang tinggal adalah anak-anak naas yang memang tidak punya cukup otak untuk tidak melakukan ritual coret-coretan pasca ujian. Kami begitu tuli, sehingga tetap melakukannya.

Padahal sudah ratusan kali, atau mungkin ribuan sejak dimulainya kegiatan belajar mengajar di catur wulan ketiga. Di kelas saat belajar, di kantor saat terhukum, di saat upacara, dan di muhadoroh mingguan dengan jelas dan pasti larangan itu terucap dari mulut setiap guru. Yang paling sering tentu saja Pak Muksin.

“Kalian ini adalah generasi yang dipersiapkan untuk lulus dengan berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni dan akhlakul karimah. Maka sangat tidak pantas jika nanti kalian merayakan keberhasilan lulus dari sekolah ini dengan mencorat-coret baju yang dibeli oleh orang tua kalian dengan keringat dan pengorbanan siang malam. Kalian telah dididik untuk mengerti perbuatan yang layak dan tidak layak dilakukan orang-orang yang terpelajar. Maka sangat bodoh jika kalian masih tetap bersikeras mengikuti tingkah buruk yang mungkin dilakukan siswa-siswa dari sekolah lain itu setiap tahunnya. Siswa Al-Islamiyah diharamkan melakukan coret-coretan. Kalian dengarkan dan camkan, kecuali jika kalian tidak ingin mendapatkan ijasah. Haram bagi saya memberikan ijasah kepada mereka yang melanggar aturan ini!”

Kalimat-kalimat itu terus mengiang-ngiang di kepalaku dan puluhan siswa yang seangkatan denganku selama perjalanan belajar kami menjelang ujian akhir. Tapi dasar otak-otak berandalan, di detik-detik terakhir setan-setan begitu gencar melakukan rayuan-rayuan. Salah satu setan itu adalah Ahmad Arif Ilham alias Ipang. Ia selalu berada di barisan paling depan dan memimpin pasukan setan-setan Al-Islamiyah yang lain. Hari ini satu, besoknya bertambah menjadi lima, kemudian terus berkembang sampai akhirnya pasukan setan itu berjumlah 34 orang. Aku berada di barisan paling terakhir. Ipang begitu kuat mempengaruhi imanku, aku tak kuasa menolak ajakannya mengumpulkan uang untuk membeli pilok dan spidol.

“Tad, kali ini aja. Nggak bakal ada yang nahan ijasah kita. Itu adalah hak, nggak ada pengecualian kecuali diberikan. Rencana ini gue jamin nggak bakal ketauan. Gue sama teman-teman yang lain tahu tempat paling aman. Pokoknya elu bisa bersorak dan nyemprot siapa aja dengan tenang. Bayangin men, baju-baju kita ini bakal full color. Indah kan? Emangnya elu nggak mau bikin kenang-kenangan. Momen kaya gini nggak terjadi setahun sekali. Ayolah!” begitu provokasinya.

Aku menunduk tak berani menolaknya.
“Aha, kita bakalan bikin kalimat-kalimat jurumiyah. Atau kalau elu mau, khat model naskhi atau diwani juga bisa gue buatin. Kalau soal nulis huruf arab, jangan remehin teman lu ini. Elu bisa lihat itu di nilai rapor gue.”
“Tapi…”
“Emangnya elu nggak mau ngerangkai puisi di baju Shara?”
“Apa?”

Tiba-tiba aku berani menatap wajah setan di sebelahku itu penuh antusias. Darahku berdesir-desir ketika mendengar nama yang disebutkannya. Kesadaranku secara misterius lenyap dan dengan bodohnya tubuhku yang seolah tersihir ini bergerak mendekati umpan yang dilemparnya dihadapanku. Mata Ipang berbinar-binar dengan sigap layaknya seekor cheetah Afrika berpengalaman yang siap menerkam banteng muda yang berada hanya lima meter dari tempatnya mengintai.

“Iya,” suaranya terdengar makin bersemangat, “Shara Hilmah Az-Zahra, si pemilik lesung pipit paling indah di Al-Islamiyah, replikanya Cleopatra. Si pelantun shalawat tersyahdu seumpama Sulisnya Hadad Alwi. Gadis berkerudung rapat yang puisi-puisi buat dia cuma berani elu tulis di bagian belakang buku tulis Fiqh, Matematika, Geografi, Fisika, Aqidah Akhlak sama…, gue lupa di halaman berapa buku paket PPKN.”
Aku menunduk bersembunyi dari rasa malu dan sedikit harapan.

“Ini kesempatan terbaik buat dapetin senyumannya di perpisahan nanti. Apa elu nggak mau itu?”

Ipang terus-menerus membuaiku dengan serendengan harapan yang begitu membuai. Alisnya naik turun melengkapi senyum jeleknya yang mirip Joker musuh Batman. Setan memang tidak pernah putus asa.

Aku mengangguk. Tangan kananku bergerak cepat ke arah saku depan baju seragamku dan kemudian menarik dua dari tiga lembar uang ribuan untuk diberikan pada setan itu. Kalimat-kalimat sakti yang terucap dari bibirnya telah menarik ketidakwarasanku ke tingkat paling tinggi. Mengelabui otakku akan resiko besar yang akan kuhadapi nanti, melalap habis kenyataan bahwa terakhir kali kulihat Shara berhamburan dengan muka keruh begitu dihampiri Ipang ketika makan di kantin belakang, dan menyamarkan kesadaran bahwa uang yang baru saja kuberikan itu adalah jatah makan siangku hari itu. Aku sudah buta, lupa dan tuli. Hanya karena nama itu, nama yang selalu ingin kutulis di samping namaku.

Dan ke-irasional-an itu kini membuatku berada di tengah-tengah kerumunan para pesakitan yang jongkok berdesak-desakan di tengah lapangan sekolah menunggu eksekusi, mirip sekali dengan hewan-hewan ternak yang menunggu dengan dungu pisau-pisau tukang jagal menyayat-nyayat leher mereka di hari-hari tasyrik.

Pak Muksin berdiri sangar di hadapan kami yang hanya berani melihat tanah. Kemudian tiga belas siswa laki-laki dan empat orang siswa perempuan dipisahkan. Aku melirik ke arah kumpulan siswi itu, tidak ada si ‘lesung pipit’. Karena memang dari 34 setan hari itu, tak satu pun bernama belakang Az-Zahra.

Aku baru tahu maksud pembagian kelompok ketika dengan lantang Pak Muksin menyuruh kami para laki-laki untuk melepaskan baju seragam yang sudah lebih mirip baju-baju pantai ala Hawaii. Dengan pengalamannya yang segudang, guru BP yang galak itu tahu persis porsi keadilan dalam memberikan hukuman. Jika sekumpulan perempuan itu juga harus menanggalkan seragamnya, maka ketigabelas setan ini akan makin menjadi setan.

Dan jumlahnya akan bertambah tujuh lagi, yakni Pak Muksin, Pak Satpam, tiga orang guru laki-laki, seorang Tata Usaha, serta seorang laki-laki tua penjaga sekolah yang tidak mau ketinggalan menyaksikan tontonan yang hanya pernah terjadi sekali di pelataran Al-Islamiyah ketika aku masih kelas satu di caturwulan dua. Mereka, siswa-siswa kelas tiga yang memilih pulang lebih cepat dan siswa-siswa kelas satu dan dua yang senang karena tidak masuk sekolah hari itu juga pasti akan menyesal seumur hidup karena telah melewatkan sebuah peristiwa bersejarah di Mts Al-Islamiyah itu.

Aku begitu gemetaran. Untuk pertama kalinya setelah aqil baligh, aku bertelanjang dada di hadapan orang lain. Meskipun di rumah, aku hanya berani membuka baju di dalam kamar. Apalagi ada empat orang siswa perempuan yang mengintip malu-malu dari balik kerudung mereka dan beberapa orang guru wanita yang tak henti-henti menutup mulutnya dengan tangan penuh ketidakpercayaan atas apa yang sedang disaksikannya.
Tujuh belas orang murid mereka, yang selama tiga tahun mereka limpahi begitu banyak ilmu, norma, kebenaran-kebenaran, akhlak, semangat untuk menjadi lebih baik sedang melepaskan satu persatu kancing baju seragamnya dan menanggalkan semua rasa malu sebagai sosok-sosok keji yang tuli akan semua peringatan yang telah mereka sampaikan.

Pak Hatsbi, guru favoritku, menunduk tak kuasa sambil bersandar di daun pintu ruang guru. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca, ia begitu kecewa. Selama hampir tiga tahun beliau menyirami kami dengan semangat membara para khalifah Islam berabad-abad silam demi mengusung agama ini ke tempat paling mulia. Tubuhku makin gemetar, rasa malu ini makin berada di puncaknya. Melihat semua orang begitu lirih menatap kami, aku makin tertekan. Tertekan rasa takut dan penyesalan tiada terkira. Teganya aku memberikan kekecewaan pada sosok-sosok yang telah mengajarkanku banyak hal-hal baik dalam hidup. Sia-sia sudah usaha keras wajah-wajah tulus itu mengisi rongga-rongga kosong di relung hati kami yang masih begitu rentan ini dengan jutaan kasih sayang.

Pak Satpam mengumpulkan satu persatu baju seragam para setan yang sudah tidak lagi memiliki harga diri itu, kemudian menumpuknya seperti sampah. Lalu dengan tergopoh-gopoh, lelaki tua si penjaga sekolah menjinjing ember besar berisi air dan sebuah gayung yang terhuyung-huyung mengambang diatasnya.

“Rasakan kebodohan kalian ini!” bentak Pak Muksin sambil mengguyur kami sekaligus tanpa ampun dan tanpa terkecuali.

Para siswi itu pun kini tak luput dari eksekusi. Dan dibawah sengatan terik matahari yang seakan ikut menghukum kami dengan menghujamkan sinar siangnya yang begitu ganas membakar kulit kami yang tak tertutupi sehelai bahan pun, kami kuyup tak berdaya.
Aku terus menyeka air yang mengalir di wajahku, para siswi mulai terisak-isak. Kudengar dengan jelas penyesalan yang begitu dalam di antara isak tangis yang terasa makin pilu. Aku tak berani lagi menatap para guru, apalagi Pak Muksin. Sosok yang selalu membuatku takzim luar biasa ketika mencium punggung tangannya yang kekar setiap kali berpapasan. Senyumnya selalu merekah begitu aku menengadahkan wajah menatap matanya yang setajam matahari di pagi yang cerah. Tak terasa, air mataku ikut meleleh dan jatuh bersama tetesan-tetesan air hukuman itu.

Kesedihan ini makin tak terbantahkan ketika sayup-sayup kudengar Pak Muksin terus-menerus mengucap kalimat istighfar.

“Astagfirullah… astagfirullah…,” ucapnya lirih dan menyayat-nyayat kalbuku yang rapuh ini. Begitu getir dan pahit bagi anak yang baru berusia tiga belas tahun.
Air itu ternyata bukan satu-satunya hukuman bagi para laki-laki, kini giliran gunting kecil di tangan kanan Pak Muksin yang beraksi. Memotong, membabat, menelanjangi kepala-kepala batu kami. Helai demi helai rambut-rambut yang lengket oleh bercak-bercak cat beragam warna itu runtuh melayang-layang menuju tanah. Semua yang tak lagi berwarna hitam harus terlepas dari tempurung kami.

Pak Muksin melakukannya tanpa tehnik, tanpa aturan, tidak seperti tukang-tukang cukur di pangkas rambut. Beliau memang tidak pernah belajar bagaimana cara menggunting rambut yang baik sehingga membiarkan sisa-sisa rambut yang masih berwarna asli tetap berada di tempatnya tumbuh. Tak bisa dibayangkan tampang kami ketika itu.
Aku sudah tidak peduli dengan itu, gema istighfar dari mulut Pak Muksin kian jelas dan nyata. Dadaku bergetar hebat ketika tiba giliranku, kurasakan gerakan gunting itu begitu berat dan suara-suara yang mengiringinya begitu miris. Guru Jurumiyah-ku itu seperti tidak rela dan dengan sangat berat hati melakukan tugasnya. Tapi kutahu, itu sebuah konsekuensi yang harus kuterima dengan ikhlas.

Gerakannya lambat tapi tanpa keraguan sedikit pun, menyiratkan besarnya kasih sayang yang hanya menghadirkan pedih yang mendalam. Melihat kenyataan bahwa murid-muridnya telah melemparkan diri ke lapisan paling rendah dan nista. Bahwa setiap kata, nasihat, dan larangannya dipandang seperti angin di malam-malam musim dingin, basah dan menusuk tulang. Dijauhi dan dilupakan. Tapi beliau masih terus berusaha keras untuk menarik kami kembali, meraih kembali kehormatan kami yang luluh lantah.

“Sekarang lihat, apa lagi yang bisa kalian banggakan ketika baju-baju yang kalian anggap penuh kenangan ini sudah tidak lagi bisa melindungi kulit kalian dari sengatan panasnya matahari dan guyuran air? Nanti, di padang Mahsyar, sungguh tidak sehelai pun, Anakku!” suaranya bergetar mengkombinasikan amarah dan kesedihan.

Pak Muksin berhenti karena tak mampu lagi mengendalikan perasaannya. Sementara tangan kanannya menggenggam kuat-kuat derijen minyak tanah. Urat-urat di punggung tangan yang sering kuciumi itu membesar dan berdesir-desir. Beliau menumpahkan isi dirijen ke tumpukan baju kami seutuh-utuhnya sampai tetesan terakhir. Kemudian secepat anak panah yang menusuk jantung Hamzah di perang Uhud, anak korek berapi itu dilemparnya.

Dap! Hanya sekejap, percik-percik api itu membesar dan berkobar. Melalap setiap inci baju seragam kami. Melumat semua kenangan yang tergores di tiap benangnya, melenyapkan esay Ipang untuk selama-lamanya.

“Lihatlah anak-anakku, betapa sia-sia perbuatan kalian!” Pak Muksin mulai bicara lagi. Lebih lantang dan tegas. Seperti kulihat sosok pemimpin besar umat Islam bernama Thariq bin Ziyad sedang berdiri penuh wibawa ketika sedang berusaha menyulut semangat para pasukan perang Islam dengan membakar perahu-perahu yang membawa mereka menyeberangi selat Gibraltar untuk misi penaklukkan dataran Andalusia.
“Kalian lihat, semua kenangan telah hangus terbakar. Tak ada yang perlu diingat lagi. Karena di depan sana, begitu banyak tantangan yang akan kalian hadapi. Terlalu banyak musuh-musuh nyata yang harus kalian taklukkan. Kalau kalian pikir coretan-coretan itu bisa berbuat sesuatu, kalian salah besar. Satu-satunya kenangan yang harus terus kalian bawa adalah ilmu pengetahuan dan segala hal baik yang telah diajarkan para guru di sekolah ini selama 3 tahun.”

Kobaran api yang membakar baju kami makin membara, menambah hawa panas di pelataran Al-Islamiyah. Begitu juga dengan Pak Maksin, kalimat-kalimat yang dilontarkannya makin berapi-api. Menyulut jiwa-jiwa muda kami yang hangus terbakar hasutan hawa nafsu.

“Saat ini kalian berada di sebuah labirin yang meliuk-liuk dengan dinding-dinding dari tumbuhan hidup yang menjulang begitu tinggi, hingga kalian tak tahu ada apa di balik dinding-dinding yang kokoh itu. Maka berpeganglah pada petunjuk orang-orang yang telah melewatinya. Niscaya kalian akan dapat melintasi tiap lorong dengan aman dan leluasa.” Desah nafas Pak Muksin memburu, beliau seperti sedang menatap wajah-wajah kami yang terus menuduk satu persatu.

“Dan kalian hampir saja keluar dari labirin kecil bernama Al-Islamiyah ini. Tapi lihat, apa yang kalian lakukan? Tepat di depan pintu gerbang keluar, kalian malah memutar arah dan mengabaikan petunjuk-petunjuk. Sekarang rasakan akibatnya, karena tidak ada yang tahu kapan kalian bisa sampai di gerbang itu lagi.”

Pak Muksin menutup pembacaan vonis hukuman untuk kami dengan kalimat yang begitu menggetarkan. Kalimat yang terus terngiang-ngiang dan mendengung di otakku sepanjang waktu setelah hari itu. Aku dan keenambelas setan yang tertangkap hari itu dipenuhi penyesalan yang tak mampu lagi dielakkan. Bahwa betapa ketololan kami mengabaikan seruan-seruan dari mereka yang lebih dulu hidup adalah sebuah kesalahan yang terbesar yang seharusnya tak akan pernah kami ulangi lagi. Bahwa setelah lulus dari sekolah ini, sudah menunggu taman labirin yang jauh lebih besar, lebih tinggi, dan lebih penuh misteri. Setelah itu, taman labirin yang jauh lebih besar bersiap-siap menampung kami. Begitu seterusnya sampai kaki-kaki kami tidak mampu lagi melangkah di antara dinding-dinding labirin yang angkuh dan tak mengenal belas kasihan itu.

Hanya rasa cinta, keyakinan dan takzim terhadap seruan-seruan kebenaranlah yang mampu menghantarkan kami sebagai manusia menuju titik akhir dari perjalanan hidup, yakni keridhaan Allah SWT yang berwujud Surga Firdaus.

Tragedi Seorang Calon Abdi Negara


Terdengar bisikan lirih dan ayat-ayat doa yang keluar dari bibir seorang ibu yang semenjak kemarin malam larut dalam kecemasan dan kekhawatiran yang begitu mendalam. Tak henti-hentinya dia memanjatkan kalimat-kalimat permohonan kepada pencipta alam ini atas apa yang terjadi pada diriku.

“ Tolong Suster, cairan infus anak saya sudah hampir habis nih !” kata Ibu penuh kecemasan.
Dengan kesabaran suster tersebut menggantikan kantong cairan infus itu dengan yang baru. Memang Suster Rama termasuk salah satu suster yang paling ramah di antara suster-suster yang lainnya.

“Nah Bu, sudah saya ganti ya, nanti kalau ada yang perlu saya bantu, Ibu jangan sungkan-sungkan memanggil saya kembali ya, “ kata Suster Rama dengan tersenyum.
“Terima kasih, Sus,“ sahut Ibu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, dengan penuh penantian akhirnya aku diizinkan oleh dokter untuk pulang dengan saran agar supaya aku rutin menjalankan rawat jalan setiap bulannya. Memang penyakit yang aku alami termasuk penyakit kritis dalam dunia kedokteran yakni penyakit tumor jinak otak. Tak henti-hentinya Ibu selalu mengingatkan dalam keseharianku untuk rajin konsumsi obat-obatan dari resep yang telah diberikan oleh dokter.

Dengan kesabaran aku tak pernah absen meminumnya demi kesembuhan dari penyakitku itu. Hanyalah obat itu yang dapat mempertahankan kesehatanku dan seakan-akan seperti dopping sebagai pencegah agar penyakit tersebut tidak semakin parah. Miris memang, seperti kecanduan saja akan obat-obatan tersebut. Tapi hanya itulah cara yang terus diupayakan supaya aku bisa menjalankan aktifitas hidupku seperti biasa. Walaupun demikian adanya, namun dalam hal pendidikan, aku berhasil menyelesaikannya dengan baik dan tidak mengecewakan.

“Hamid, ini loh koper yang kau butuhkan nanti ! “ Ibu memanggil dari ruang gudang belakang rumah.

Ooops, terperanjat Hamid dari lamunan di masa pahitnya itu , yang membuatnya teringat oleh masa kecilnya waktu itu. Sejak kecil dia memang ingin bercita-cita sebagai seorang yang berguna bagi negara. Dan akhirnya cita-cita itu semakin dekat saja rasanya untuk dicapai olehnya. Setelah sekian lama perjalanan hidupnya dalam hal pendidikan, waktu demi waktu telah beranjak naik tingkat demi tingkat.

“Sekarang waktunya aku harus mempersiapkan apa saja yang akan dibutuhkan sewaktu aku tinggal di asrama nanti,” pikir Hamid sambil mengepak-ngepak barang-barang keperluannya.
Besok adalah hari pertama Hamid meninggalkan kampung halamannya yang letaknya lumayan sangat jauh dari asrama pendidikan calon abdi negara tersebut. Suasana hati yang sedih dan gembira bercampur-aduk menjadi satu dalam benak Hamid.

Pagi yang cerah menyambut dan memberikan semangat baru bagi Hamid untuk berjuang dan mengabdi dalam antusiasme yang mulia di masa depan nanti. Ibunya yang selalu rela dengan sabar merawat dan memberikan kasih sayangnya pada Hamid terlihat berbeda saat itu ketika Hamid ingin berpamitan dan memohon doa restu supaya Hamid dapat menjalankan
pendidikannya dengan gemilang. Seakan-akan tak rela melepaskan kepergian sementara untuk mencapai cita-cita yang didambakan oleh Hamid sejak kecil. Hamid pun tertunduk dan tenggelam dalam derasnya air kesedihan untuk meninggalkan ibunya walapun untuk sementara waktu hingga nanti sampai pendidikannya berakhir.

“Bu, maafkan Hamid yang selalu merepotkan selama ini, aku akan pergi untuk mencapai cita-citaku, Ibu. Doakan Hamid agar selalu ingat pada Allah dan mudah-mudahan berhasil dalam pendidikan ini !” kata Hamid dengan penuh isak tangis. Namun dengan hati mantap dan restu ibunya, ia pun melangkah menuju kendaraan pemberangkatan yang sudah menunggunya di depan rumah. Tak lupa pula adiknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas memberikannya kenang-kenangan sebuah jam weker unik untuk pengingat waktu sholat.

“Kak, ini kenang-kenangan dariku untuk Kakak supaya Kakak akan selalu ingat pada Allah dan di dalam jam weker ini ada MP3 nya juga, jadi mudah-mudahan ini dapat menghilangkan rasa bosan dan penat Kakak setelah menjalankan aktifitas penuh di sana. Aku sengaja pilihkan lagu-lagu kesukaan Kakak loh !” Dengan senyum dan mata berkaca-kaca adiknya seraya menyodorkan kenang-kenangan itu pada Hamid.

“ Terima kasih,Dik ! “ kata Hamid.
“ Jaga diri dan selamat berjuang Kak Hamid,” sahut adiknya.
Ibu yang sedari tadi hanya terdiam seribu bahasa karena tak tahan membendung derasnya air luhnya, terakhir ia hanya sempat mengucapkan kalimat pendek pada anaknya yang sangat disayanginya itu.

“Hati-hati dan selalu ingat Allah ya Nak, “ kata ibunya.
Hari pertama saat berada di asrama, sepertinya masih asing dan membuat Hamid merasa tidak nyaman.

“Ah, ini hanya sementara saja, nanti akan terbiasa juga kok ! “ pikir Hamid dalam hati.
Maklumlah ini pengalaman pertama ia tinggal jauh dari keluarga dan orang tua. Begitu berat dan melelahkan hari-hari yang dilalui oleh Hamid selama disana. Berbagai peraturan dan aktifitas yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh siswa-siswi tersebut. Jalan tempuh pendidikan yang dilaluinya memang sulit baginya. Semua peraturan-peraturan yang telah diterapkan sengaja dibuat bukanlah untuk menjadikan siswa-siswi pendidikan menjadi robot-robot yang sengaja dicetak oleh negara, namun itu adalah untuk melatih mereka akan kedisiplinan dan tanggung jawab supaya tertanam pada jiwa anak-anak didik yang nantinya akan berguna di masa depan kelak.

“Wuih… lelah banget hari ini !” kata Hamid penuh kelelahan sambil menghempaskan tubuhnya dengan keras di atas tempat tidur asrama. Teman sebelahnya bernama Iwan. Dia datang dari jauh tepatnya di pulau Kalimantan. Kedua orang tuanya masih tinggal bersama dengan kedua adik-adiknya yang masih kecil di sana. Iwan anaknya sangat baik, sifat ini sudah terlihat jelas oleh pikiran Hamid sejak perkenalan pertama kali sewaktu ospek kemarin.

“Sudahlah yang sabar Mid, kita ini kan masih baru awal-awal perjalanan di sini,“ kata Iwan seraya menasehati dan mendinginkan pikiran Hamid yang sudah panas.
“Capek banget nih, apalagi tadi aku sebel juga sama kakak pembina yang sangat arogan itu ! ” sahut Hamid dengan wajah sedikit berkerut.
“Aku juga sebal dibuatnya, ya sudahlah yang penting kita istirahat dulu biar besok segar lagi, OK ! “ kata Iwan.
Waktu itu akhirnya suasana menjadi tenang dan mereka pun terlena oleh alunan musik MP3 yang baru dimainkan oleh Hamid Dan kemudian mereka terlelap tidur dengan buaian mimpi-mimpi mereka.

Sudah seminggu setelah menjalani serentetan kegiatan ospek, mereka pun akhirnya berpisah. Entah apa alasannya, Hamid tidak tahu-menahu tentang hal itu. Isyunya ada sedikit kekeliruan administrasi oleh pihak pendidik atas penempatan asrama siswa-siswi tersebut. Namun persahabatan mereka tidaklah pudar walaupun sudah tidak sekamar lagi. Pada kesempatan waktu luang mereka sering mengadakan diskusi maupun hanya sekedar saling curhat seputar permasalahan mereka masing-masing. Sesekali mereka melontarkan kata-kata jenaka dan canda-canda kecil yang membuat suasana sekitar menjadi hidup dan segar. Hamid anaknya humoris, teguh pendirian dan Iwan sedikit konyol dan supel. Kalau mereka bertemu, dijamin semua teman-teman di sekitar merasa senang dan terhibur.

“Dunia terasa sepi , kalau disini tidak ada Hamid dan Iwan ya Teman-teman !“ salah satu teman mereka bergumam.

Seminggu sekali Hamid dan Iwan selalu meluangkan waktu bersama teman-temannya sekedar untuk main-main maupun berdiskusi dengan segala topik di asrama itu. Entah apa saja yang dapat mereka lakukan, sepanjang kegiatan itu positif, bermanfaat dan tidak melanggar peraturan serta mendapat persetujuan dari pihak pendidik, maka sah-sah saja dilakukan.

Dalam beberapa hari kemudian Hamid mengalami nasib yang malang. Dia dan beberapa siswa lainnya telah teraniaya oleh kakak-kakak senior dalam kegiatan ospek. Hanya karena ketika itu Hamid beserta beberapa temannya menundukkan kepala ketika ada salah satu kakak pembinanya memberikan pengarahan. Kakak senior yang dikenal dengan arogansinya itu menendang dan menghantam kepala dengan kerasnya ke arah kepala Hamid yang sedang tertunduk. Tidak ada luka kentara yang terlihat di tubuhnya, namun hantaman keras yang mengenai kepalanya membuat dia sering merasa pusing dan mual setelah kejadian itu. Dan bahkan sesekali dia pingsan di tengah-tengah kegiatannya.

Sungguh kejadian yang tidak berpendidikan. Apakah ini yang dinamakan mendidik? Kegiatan ospek yang seharusnya bertujuan untuk mendisiplinkan para siswa-siswinya, malah menjadi ajang premanisme. Apakah negara akan mencetak algojo-algojo negara atau abdi negara yang akan selalu melayani dan membela negara dengan berdasarkan asas-asas negara ? Ini tak ubahnya seperti oknum pendidik itu merampas dan mencoreng-moreng cita-cita dan tujuan pendidikan itu didirikan.

Mau dibawa kemana dunia pendidikan di negeri kita ini !
Malam setelah tragedi itu, membuat Hamid tidak bisa tidur. Badannya terasa panas dan pusing terus-menerus yang tak terkira rasa sakitnya. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit selama beberapa hari karena rasa pusingnya yang teramat sangat. Setelah menjalani pemeriksaan, akhirnya dokter menyatakan bahwa ada gangguan yang cukup besar pada pembuluh otak Hamid. Berita ini telah membuatnya terkejut dan tidak berani untuk memberitahukan berita itu kepada orang tua dan keluarganya di rumah. Dia tidak tega dan tidak mau merepotkan orang tuanya lagi, apalagi ibunya yang dulu pernah merawatnya di rumah sakit sewaktu kecil dengan penyakit yang sama yakni di sekitar otak.

Namun ini sepertinya sudah lebih parah daripada yang dulu. Teman yang berada sekamar dengan dia sering mengetahui dan mendengarkan keluhan-keluhan yang terucap oleh Hamid. Dia sering mengeluhkan daerah sekitar kepalanya.
Suatu ketika sewaktu Hamid mengikuti upacara bendera di lapangan, tiba-tiba dia pingsan dan hingga tak sadarkan diri selama satu hari penuh. Akhirnya pihak asrama mengirimkan berita itu kepada orang tua Hamid. Dan alangkah terkejutnya saat itu orang tuanya setelah mendengar berita buruk itu. Bergegaslah orang tua dan adiknya berangkat menuju rumah sakit yang ditunjuk oleh pihak asrama tersebut.

Dengan sisa-sisa nafas yang terakhir, Hamid berpesan pada adiknya untuk terus semangat dalam meraih cita-cita dan menjadi anak yang baik. Dan dia seraya memohon permintaan maaf kepada orang tuanya karena tidak bisa lagi melanjutkan pendidikannya sampai tamat. Sesaat ketika itu suasana menjadi hening dan kemudian isak tangis tersedu-sedu keluar dari mulut seorang ibu yang sangat mencintainya. Linangan air mata seakan-akan mengalir seperti derasnya air bah Tsunami membasahi pipinya. Pupus sudah harapan orang tua Hamid saat itu. Anak yang sangat dibanggakan dan disayanginya meninggalkan mereka dan tak akan kembali di jagat raya ini. Tak ada lagi senyuman, canda tawa dan keberhasilan yang gemilang yang dapat diraih. Entah apa yang mengakibatkan hal itu terjadi pada diri Hamid.

Namun tak lama kemudian orang tua Hamid merasakan suatu keganjalan terjadi yang mengakibatkan nyawa Hamid melayang. Dengan daya upaya orang tua Hamid memperkarakan hal itu ke meja hijau untuk menuntut keadilan dan memberikan pelajaran kepada mereka-mereka yang telah menganiaya anaknya. Dan akhirnya mereka-mereka yang berbuat anarkis itu dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku oleh badan hukum setempat.
Bisakah hukuman tersebut dapat memberikan efek jera pada mereka-mereka? Kita hanya berharap semoga dari kejadian yang menimpa diri Hamid tadi tidak akan terulang kembali di negeri ini.

Tragedi Seorang Calon Abdi Negara


Terdengar bisikan lirih dan ayat-ayat doa yang keluar dari bibir seorang ibu yang semenjak kemarin malam larut dalam kecemasan dan kekhawatiran yang begitu mendalam. Tak henti-hentinya dia memanjatkan kalimat-kalimat permohonan kepada pencipta alam ini atas apa yang terjadi pada diriku.

“ Tolong Suster, cairan infus anak saya sudah hampir habis nih !” kata Ibu penuh kecemasan.
Dengan kesabaran suster tersebut menggantikan kantong cairan infus itu dengan yang baru. Memang Suster Rama termasuk salah satu suster yang paling ramah di antara suster-suster yang lainnya.

“Nah Bu, sudah saya ganti ya, nanti kalau ada yang perlu saya bantu, Ibu jangan sungkan-sungkan memanggil saya kembali ya, “ kata Suster Rama dengan tersenyum.
“Terima kasih, Sus,“ sahut Ibu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, dengan penuh penantian akhirnya aku diizinkan oleh dokter untuk pulang dengan saran agar supaya aku rutin menjalankan rawat jalan setiap bulannya. Memang penyakit yang aku alami termasuk penyakit kritis dalam dunia kedokteran yakni penyakit tumor jinak otak. Tak henti-hentinya Ibu selalu mengingatkan dalam keseharianku untuk rajin konsumsi obat-obatan dari resep yang telah diberikan oleh dokter.

Dengan kesabaran aku tak pernah absen meminumnya demi kesembuhan dari penyakitku itu. Hanyalah obat itu yang dapat mempertahankan kesehatanku dan seakan-akan seperti dopping sebagai pencegah agar penyakit tersebut tidak semakin parah. Miris memang, seperti kecanduan saja akan obat-obatan tersebut. Tapi hanya itulah cara yang terus diupayakan supaya aku bisa menjalankan aktifitas hidupku seperti biasa. Walaupun demikian adanya, namun dalam hal pendidikan, aku berhasil menyelesaikannya dengan baik dan tidak mengecewakan.

“Hamid, ini loh koper yang kau butuhkan nanti ! “ Ibu memanggil dari ruang gudang belakang rumah.

Ooops, terperanjat Hamid dari lamunan di masa pahitnya itu , yang membuatnya teringat oleh masa kecilnya waktu itu. Sejak kecil dia memang ingin bercita-cita sebagai seorang yang berguna bagi negara. Dan akhirnya cita-cita itu semakin dekat saja rasanya untuk dicapai olehnya. Setelah sekian lama perjalanan hidupnya dalam hal pendidikan, waktu demi waktu telah beranjak naik tingkat demi tingkat.

“Sekarang waktunya aku harus mempersiapkan apa saja yang akan dibutuhkan sewaktu aku tinggal di asrama nanti,” pikir Hamid sambil mengepak-ngepak barang-barang keperluannya.
Besok adalah hari pertama Hamid meninggalkan kampung halamannya yang letaknya lumayan sangat jauh dari asrama pendidikan calon abdi negara tersebut. Suasana hati yang sedih dan gembira bercampur-aduk menjadi satu dalam benak Hamid.

Pagi yang cerah menyambut dan memberikan semangat baru bagi Hamid untuk berjuang dan mengabdi dalam antusiasme yang mulia di masa depan nanti. Ibunya yang selalu rela dengan sabar merawat dan memberikan kasih sayangnya pada Hamid terlihat berbeda saat itu ketika Hamid ingin berpamitan dan memohon doa restu supaya Hamid dapat menjalankan
pendidikannya dengan gemilang. Seakan-akan tak rela melepaskan kepergian sementara untuk mencapai cita-cita yang didambakan oleh Hamid sejak kecil. Hamid pun tertunduk dan tenggelam dalam derasnya air kesedihan untuk meninggalkan ibunya walapun untuk sementara waktu hingga nanti sampai pendidikannya berakhir.

“Bu, maafkan Hamid yang selalu merepotkan selama ini, aku akan pergi untuk mencapai cita-citaku, Ibu. Doakan Hamid agar selalu ingat pada Allah dan mudah-mudahan berhasil dalam pendidikan ini !” kata Hamid dengan penuh isak tangis. Namun dengan hati mantap dan restu ibunya, ia pun melangkah menuju kendaraan pemberangkatan yang sudah menunggunya di depan rumah. Tak lupa pula adiknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas memberikannya kenang-kenangan sebuah jam weker unik untuk pengingat waktu sholat.

“Kak, ini kenang-kenangan dariku untuk Kakak supaya Kakak akan selalu ingat pada Allah dan di dalam jam weker ini ada MP3 nya juga, jadi mudah-mudahan ini dapat menghilangkan rasa bosan dan penat Kakak setelah menjalankan aktifitas penuh di sana. Aku sengaja pilihkan lagu-lagu kesukaan Kakak loh !” Dengan senyum dan mata berkaca-kaca adiknya seraya menyodorkan kenang-kenangan itu pada Hamid.

“ Terima kasih,Dik ! “ kata Hamid.
“ Jaga diri dan selamat berjuang Kak Hamid,” sahut adiknya.
Ibu yang sedari tadi hanya terdiam seribu bahasa karena tak tahan membendung derasnya air luhnya, terakhir ia hanya sempat mengucapkan kalimat pendek pada anaknya yang sangat disayanginya itu.

“Hati-hati dan selalu ingat Allah ya Nak, “ kata ibunya.
Hari pertama saat berada di asrama, sepertinya masih asing dan membuat Hamid merasa tidak nyaman.

“Ah, ini hanya sementara saja, nanti akan terbiasa juga kok ! “ pikir Hamid dalam hati.
Maklumlah ini pengalaman pertama ia tinggal jauh dari keluarga dan orang tua. Begitu berat dan melelahkan hari-hari yang dilalui oleh Hamid selama disana. Berbagai peraturan dan aktifitas yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh siswa-siswi tersebut. Jalan tempuh pendidikan yang dilaluinya memang sulit baginya. Semua peraturan-peraturan yang telah diterapkan sengaja dibuat bukanlah untuk menjadikan siswa-siswi pendidikan menjadi robot-robot yang sengaja dicetak oleh negara, namun itu adalah untuk melatih mereka akan kedisiplinan dan tanggung jawab supaya tertanam pada jiwa anak-anak didik yang nantinya akan berguna di masa depan kelak.

“Wuih… lelah banget hari ini !” kata Hamid penuh kelelahan sambil menghempaskan tubuhnya dengan keras di atas tempat tidur asrama. Teman sebelahnya bernama Iwan. Dia datang dari jauh tepatnya di pulau Kalimantan. Kedua orang tuanya masih tinggal bersama dengan kedua adik-adiknya yang masih kecil di sana. Iwan anaknya sangat baik, sifat ini sudah terlihat jelas oleh pikiran Hamid sejak perkenalan pertama kali sewaktu ospek kemarin.

“Sudahlah yang sabar Mid, kita ini kan masih baru awal-awal perjalanan di sini,“ kata Iwan seraya menasehati dan mendinginkan pikiran Hamid yang sudah panas.
“Capek banget nih, apalagi tadi aku sebel juga sama kakak pembina yang sangat arogan itu ! ” sahut Hamid dengan wajah sedikit berkerut.
“Aku juga sebal dibuatnya, ya sudahlah yang penting kita istirahat dulu biar besok segar lagi, OK ! “ kata Iwan.
Waktu itu akhirnya suasana menjadi tenang dan mereka pun terlena oleh alunan musik MP3 yang baru dimainkan oleh Hamid Dan kemudian mereka terlelap tidur dengan buaian mimpi-mimpi mereka.

Sudah seminggu setelah menjalani serentetan kegiatan ospek, mereka pun akhirnya berpisah. Entah apa alasannya, Hamid tidak tahu-menahu tentang hal itu. Isyunya ada sedikit kekeliruan administrasi oleh pihak pendidik atas penempatan asrama siswa-siswi tersebut. Namun persahabatan mereka tidaklah pudar walaupun sudah tidak sekamar lagi. Pada kesempatan waktu luang mereka sering mengadakan diskusi maupun hanya sekedar saling curhat seputar permasalahan mereka masing-masing. Sesekali mereka melontarkan kata-kata jenaka dan canda-canda kecil yang membuat suasana sekitar menjadi hidup dan segar. Hamid anaknya humoris, teguh pendirian dan Iwan sedikit konyol dan supel. Kalau mereka bertemu, dijamin semua teman-teman di sekitar merasa senang dan terhibur.

“Dunia terasa sepi , kalau disini tidak ada Hamid dan Iwan ya Teman-teman !“ salah satu teman mereka bergumam.

Seminggu sekali Hamid dan Iwan selalu meluangkan waktu bersama teman-temannya sekedar untuk main-main maupun berdiskusi dengan segala topik di asrama itu. Entah apa saja yang dapat mereka lakukan, sepanjang kegiatan itu positif, bermanfaat dan tidak melanggar peraturan serta mendapat persetujuan dari pihak pendidik, maka sah-sah saja dilakukan.

Dalam beberapa hari kemudian Hamid mengalami nasib yang malang. Dia dan beberapa siswa lainnya telah teraniaya oleh kakak-kakak senior dalam kegiatan ospek. Hanya karena ketika itu Hamid beserta beberapa temannya menundukkan kepala ketika ada salah satu kakak pembinanya memberikan pengarahan. Kakak senior yang dikenal dengan arogansinya itu menendang dan menghantam kepala dengan kerasnya ke arah kepala Hamid yang sedang tertunduk. Tidak ada luka kentara yang terlihat di tubuhnya, namun hantaman keras yang mengenai kepalanya membuat dia sering merasa pusing dan mual setelah kejadian itu. Dan bahkan sesekali dia pingsan di tengah-tengah kegiatannya.

Sungguh kejadian yang tidak berpendidikan. Apakah ini yang dinamakan mendidik? Kegiatan ospek yang seharusnya bertujuan untuk mendisiplinkan para siswa-siswinya, malah menjadi ajang premanisme. Apakah negara akan mencetak algojo-algojo negara atau abdi negara yang akan selalu melayani dan membela negara dengan berdasarkan asas-asas negara ? Ini tak ubahnya seperti oknum pendidik itu merampas dan mencoreng-moreng cita-cita dan tujuan pendidikan itu didirikan.

Mau dibawa kemana dunia pendidikan di negeri kita ini !
Malam setelah tragedi itu, membuat Hamid tidak bisa tidur. Badannya terasa panas dan pusing terus-menerus yang tak terkira rasa sakitnya. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit selama beberapa hari karena rasa pusingnya yang teramat sangat. Setelah menjalani pemeriksaan, akhirnya dokter menyatakan bahwa ada gangguan yang cukup besar pada pembuluh otak Hamid. Berita ini telah membuatnya terkejut dan tidak berani untuk memberitahukan berita itu kepada orang tua dan keluarganya di rumah. Dia tidak tega dan tidak mau merepotkan orang tuanya lagi, apalagi ibunya yang dulu pernah merawatnya di rumah sakit sewaktu kecil dengan penyakit yang sama yakni di sekitar otak.

Namun ini sepertinya sudah lebih parah daripada yang dulu. Teman yang berada sekamar dengan dia sering mengetahui dan mendengarkan keluhan-keluhan yang terucap oleh Hamid. Dia sering mengeluhkan daerah sekitar kepalanya.
Suatu ketika sewaktu Hamid mengikuti upacara bendera di lapangan, tiba-tiba dia pingsan dan hingga tak sadarkan diri selama satu hari penuh. Akhirnya pihak asrama mengirimkan berita itu kepada orang tua Hamid. Dan alangkah terkejutnya saat itu orang tuanya setelah mendengar berita buruk itu. Bergegaslah orang tua dan adiknya berangkat menuju rumah sakit yang ditunjuk oleh pihak asrama tersebut.

Dengan sisa-sisa nafas yang terakhir, Hamid berpesan pada adiknya untuk terus semangat dalam meraih cita-cita dan menjadi anak yang baik. Dan dia seraya memohon permintaan maaf kepada orang tuanya karena tidak bisa lagi melanjutkan pendidikannya sampai tamat. Sesaat ketika itu suasana menjadi hening dan kemudian isak tangis tersedu-sedu keluar dari mulut seorang ibu yang sangat mencintainya. Linangan air mata seakan-akan mengalir seperti derasnya air bah Tsunami membasahi pipinya. Pupus sudah harapan orang tua Hamid saat itu. Anak yang sangat dibanggakan dan disayanginya meninggalkan mereka dan tak akan kembali di jagat raya ini. Tak ada lagi senyuman, canda tawa dan keberhasilan yang gemilang yang dapat diraih. Entah apa yang mengakibatkan hal itu terjadi pada diri Hamid.

Namun tak lama kemudian orang tua Hamid merasakan suatu keganjalan terjadi yang mengakibatkan nyawa Hamid melayang. Dengan daya upaya orang tua Hamid memperkarakan hal itu ke meja hijau untuk menuntut keadilan dan memberikan pelajaran kepada mereka-mereka yang telah menganiaya anaknya. Dan akhirnya mereka-mereka yang berbuat anarkis itu dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku oleh badan hukum setempat.
Bisakah hukuman tersebut dapat memberikan efek jera pada mereka-mereka? Kita hanya berharap semoga dari kejadian yang menimpa diri Hamid tadi tidak akan terulang kembali di negeri ini.

Sang Pengawas Ujian

Saat Ujian Tengah Semester satu bulan yang lalu, ada satu kejadian simpel yang berkesan bagi saya. Waktu udah menunjukkan pukul 16.00 yang menandakan bahwa ujian akan segera dimulai. Mahasiswa-mahasiswa yang sudah stand by di luar pun segera masuk ke ruangan. Soal dibagikan, lembar jawaban dibagikan, kami semua mulai membaca soalnya.

. . .

Sunyi..
Baru beberapa detik membaca, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang tenang. Kata-katanya diucapkan dengan pelan dan jelas. “Yak, sebelum ujian, mari kita berdoa dulu agar semuanya lancar dan diberi kemudahan. Berdoa dimulai.”

. . .

Ternyata sang bapak pengawas ujianlah yang bersuara. Seumur-umur saya kuliah, baru satu kali kejadian ini saya alami. Baru kali ini ada bapak karyawan kampus alias pengawas ujian yang mengingatkan mahasiswa untuk berdoa sebelum mulai mengerjakan soal ujian.

Saya terkesan. Tidak hanya saya, karena saya mendengar suara-suara respon dari teman-teman saya. Respon positif tentunya. Salah satu teman saya menyeletuk, “Wah, keren, keren,” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Hmm..apa kita ingat kapan kita terakhir membaca doa di kelas?
TK, SD, SMP, SMA.

Selama duduk di tingkat-tingkat tersebut, kelas selalu diawali dengan doa dan salam yang dipimpin oleh ketua kelas masing-masing. Saat kuliah, apalagi kerja, karena kita dianggap sudah dewasa dilihat dari umur, kita diasumsikan bisa me-manage diri sendiri, maka dari itu kini tidak ada lagi kewajiban membaca doa bersama sebelum kelas resmi dimulai.

Tapi..
Berapa banyak dari kita yang ingat untuk berdoa?
Padahal doa merupakan hal simpel yang sangat berarti, sangat menentukan bagaimana Allah akan menilai suatu aktivitas yag kita lakukan.
Dengan doa, kita bisa meluruskan niat.

Dengan doa, kita bisa ingat kembali tujuan kita dan mengaplikasikan ilmu yang kita sapa untuk kebaikan bersama (aamiin, semoga).

Dengan caranya yang sederhana, bapak pengawas ujian itu telah menginspirasi dan mengingatkan kita agar senantiasa meluruskan niat, mengingat kembali tujuan kita, dan tentunya tidak lupa akan keberadaan-Nya.

Siapa tahu selama ini kita bekerja tanpa nyawa?
Siapa tahu ilmu yang kita dapat selama ini hanya mengawang dan sia-sia?
Mudah-mudahan tidak.

Hmm..
Mari kira luruskan niat dan jangan lupa berdoa sebelum melakukan hal apapun!

Kilasan Hati Pak Guru Ahmad

Terdengar suara pintu ruang tamu diketuk. Entah siapa malam-malam begini bertamu. Pak Ahmad melirik ke jam dinding yang tergantung. Jam 20.00. Hening sunyi di kampung ini. Dibukanya pintu, terlihat beberapa anak muda dengan pakaian rapi. Tersenyum sambil mencium tangan Pak Ahmad.

“Assalaamu ‘alaikum Pak. Maaf kami mengganggu istirahat Bapak,” salah seorang di antara mereka memberi salam dengan santun.
“Wa ‘alaikum salam. Eeh… Anto, Udin, Johan. Mari masuk. Sudah lama kalian tak berkunjung kemari. Bagaimana kabar kalian? Baik-baik saja kan?”
“Alhamdulillah, atas doa Bapak kami tetap dalam lindungan Allah.”

Ketiga anak muda itu masuk dan duduk di bangku ruang tamu yang sudah memudar warnanya. Temaram lampu tak mampu menyembunyikan lubang-lubang yang mulai muncul di sana-sini. Ruang tamu yang sempit makin sesak dengan motor tua yang terparkir di sudut ruangan.

“Ada perlu apa kalian kemari. Bapak pikir kalian telah lupa dengan rumah ini. Kalian kemari saat masih SD dulu kan? O ya… kalian sudah kuliah di mana?”
“Anto di UI, Pak. Kuliah di arsitektur,” Udin mendahului sebelum Anto membuka mulut.
“Iya Pak. Saya sekarang di semester 6,” Anto membenarkan.
“Kalau kamu sendiri kuliah di mana, Din?”
“Saya dagang di kios pakaian di Tenabang, Pak. Saya gak begitu seneng kuliah. Orang tua saya tidak memaksa saya untuk kuliah. Kebetulan Oom saya dagang pakaian di Tenabang. Saya ikut Oom saya dua tahun sambil belajar dagang. Otodidak Pak, belajar sendiri, sambil ngumpulin uang buat modal dagang. Alhamdulillah, dua bulan kemaren saya bisa nyewa kios sendiri. Kebetulan ada kios yang disewain sama yang punya dan letaknya deketan dengan kios Oom saya. Barang dagangan sebagian punya Oom saya yang dititipin ke kios saya,” jelas Udin panjang lebar. Memang dari dulu si Udin banyak omong dan berbakat dagang. Apa saja yang bisa dijual, dia akan jual. Pensil, permen, biji karet cuma segelintir barang dagangan Udin waktu SD.

“Wah bagus itu. Masih muda sudah punya jiwa bisnis. Bapak doakan bisnismu makin lancar dan makin berkembang. Bu, tolong buatkan minum buat Anto, Udin dan Johan. Johan kamu kuliah atau kerja?”

“Saya ambil kuliah D3 komputer Pak. Emang dari dulu saya seneng komputer. Gak cuman seneng gamenya, saya juga seneng utak-atik komputernya. Saya niatnya mau ambil Fasilkom di UI tapi gak tembus pas SPMB-nya. Jadi saya ke D3 aja. Niatnya sih biar langsung bisa kerja.”

“Anak Bapak yang masih SMA, si Hamid, minta dibeliin komputer. Katanya buat bikin tugas sekolah. Tapi Bapak belum bisa ngebeliin. Belum ada duit. Yah… gaji Bapak sebagai guru SD agak kurang sehingga setiap pengeluaran harus dihemat.”

“Silakan diminum, Nak. Wah sekarang sudah besar-besar ya? Gimana kabar kalian?” Bu Siti, istri Pak Ahmad masuk dan meletakkan empat gelas teh manis hangat di meja tamu.
“Alhamdulillah, baik Bu,” serentak Anto, Johan dan Udin menyahut.
“Silakan diminum. Mumpung masih hangat. Ibu tinggal dulu ya?”
“Hamid sekolah di SMA mana Pak?” tanya Johan, kembali teringat dengan pembicaraan sebelumnya.

“Di SMA 2 deket Gedung Balaikota.”
“Wah kebetulan tuh Pak. Saya dengan beberapa teman membuka rental komputer dan internet. Ada temen yang bapaknya punya ruko deket Gedung Balaikota, belum ditempatin. Satu ruko diserahin ke temen saya itu. Dari pada kosong ruko itu kami jadikan rental komputer dan internet. Deket situ kan juga ada kampus Universitas Putra Bangsa. Mahasiswanya cukup banyak. Yah… banyak juga yang dateng untuk internetan. Kalau Hamid butuh make komputer datang aja Pak. Nanti saya bilang ke temen saya biar disediain satu komputer buat dipake Hamid.” Johan menawarkan bantuan.
“Terima kasih, Jo. Nanti Bapak bilang ke Hamid supaya dateng ke rental kamu. Apa namanya?”

“Namanya PUBLIC.NET.”
“Pak, Bapak masih ngajar di SDN 03?” Anto yang sedari tadi diam ikut angkat bicara.
“Masih. Bapak masih senang mengajar. Sambil menjaga ilmu yang Bapak dapet dulu. Bapak masih inget nakalnya kalian bertiga. Banyak guru yang ngeluh ke Bapak. Bapak kan wali kelas kalian waktu di kelas 4. Inget waktu kalian ngerjain Pak Anjas? Kalian taruh bekas permen karet di bangkunya sampai-sampai dia kesulitan untuk melepaskannya? Wuah dia marah besar waktu itu.”

“Ha…ha…ha…! Iya Pak. Kami memang bandel banget waktu itu. Ketika kami minta maaf, dia masih saja memarahi kami. Untungnya nilai matematika kami tidak dimerahin di raport.”
“Sekarang Pak Anjas masih ngajar di situ, Pak?”

“Masih. Yah … sekarang cari kerja makin susah, nak. Kami para guru nasibnya tidak pernah berubah. Bertahun-tahun kami menyaksikan anak didik kami datang dan pergi. Silih berganti. Yang waktu SDnya bebel, susah diajarin, sekarang sudah jadi dosen. Yang dulunya bandel, sekarang jadi bos perusahaan raksasa. Kalo Wati sekarang di mana? Dia pintar, cantik lagi. Selalu rangking 3 besar di kelasnya.”
“Wati sekarang kuliah di Kedokteran UI, Pak. Ngikutin kayak papanya yang juga dokter,” sahut Udin.

“Baguslah. Sebenarnya Bapak iri dengan kalian.”
“Iri kenapa Pak?” Johan penasaran.

“Bapak iri dengan keadaan kalian yang punya harapan cerah. Dengan ilmu yang kalian dapatkan kalian akan maju menjadi orang-orang yang berhasil dan sukses. Kalau Bapak bandingkan dengan keadaan guru-guru, hati Bapak sedih . Nasib rekan-rekan guru dari tahun ke tahun begini-begini saja. Tidak ada kemajuan yang berarti. Apalagi yang masih jadi guru honorer. Bapak sendiri masih mendingan. Bapak sekarang sudah diangkat menjadi pegawai negeri. Jadi ada harapan untuk dapat uang pensiun.”

“Sering Bapak ngobrol dengan guru-guru lain. Anak Pak Anjas terpaksa putus kuliahnya karena tidak sanggup bayar uang semesteran sekitar enam juta rupiah padahal sebentar lagi skripsi. Bu Nur, guru kesenian kalian, masih ingat? Harus merelakan kepergian anaknya ketika anaknya yang paling kecil terkena demam berdarah. Meski sudah mencari utangan ke sana sini tetap belum bisa menutupi biaya pengobatan. Pak Juned, guru bahasa Indonesia, terpaksa narik ojek sepulang ngajar sampai malam sekedar untuk mencukupi uang beli sayur.” Pak Ahmad mulai membicarakan keadaan para guru.

“Bapak bersama teman-teman guru sudah mengadukan nasib kami ke Kepala Sekolah, terus ke Diknas kecamatan. Bahkan sampai ke Diknas Pusat. Kami ingin kesejahteraan kami dapat ditingkatkan agar kami dapat mengajar dengan tenang dan lebih berkualitas. Bagaimana kami dapat mencari tambahan ilmu kalau buku-buku berkualitas harganya tak dapat kami jangkau? Uang gaji kami paling hanya dapat menutupi kebutuhan selama 15 sampai 20 hari. Sisanya mencari tambahan.Tapi entahlah. Sampai sekarang tetap belum ada tanggapan.”

“Beberapa hari yang lalu kami datang ke gedung dewan untuk demo menuntut hal sama. Waktu itu kami memaksa untuk bertemu dengan anggota dewan, tapi gak ada yang mau nemuin kami. Makin sedih hati kami, Nak. Sudah capek-capek teriak, kepanasan, duit abis buat ongkos demo tapi gak ada hasil yang memuaskan.”

“Giliran mau deket-deket pemilu, para caleg rajin ngedeketin para guru. Ngasih bingkisan lah, kaos lah, segala macem dengan tujuan supaya para guru milih dia. Ngomong kesana kemari mau memperjuangkan aspirasi para guru dan meningkatkan kesejahteraan. Eeh… begitu naik jadi anggota dewan, lupa dengan guru yang dulu milih dia. Sakit hati juga Bapak. Apa mereka gak merasa kalau tanpa didikan guru gak bakal mereka seperti itu. Dulu yang bikin mereka bisa baca dan nulis ama ngitung kan para guru. Kalo bukan guru yang ngajarin gak bakal mereka bisa sekolah sampai setinggi itu.”

“Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan kenapa tidak banyak yang tertarik untuk menjadi guru. Andaikata menjadi guru, itupun terpaksa karena tidak bisa lulus di jurusan yang bergengi seperti teknik, komputer ataupun kedokteran. Padahal jasa seorang guru sangat luar biasa, terutama guru SD. Guru SD itu guru yang paling berat tantangannya. Anak-anak yang tadinya gak bisa baca, tulis dan berhitung diajari sampai bisa dan pandai. Kalo anaknya pintar, mendingan, gak terlalu sulit ngajarinnya. Tapi kalo anaknya biasa-biasa aja bahkan cenderung o-on dan olot, bandel lagi, para guru harus banyak bersabar.”

“Orang tua juga ikut nyalahin guru kalau anaknya gak naik kelas. Padahal pendidikan pertama dan paling utama berawal dari lingkungan rumah. Di rumah gak pernah diajarin, langsung nyerahin ke sekolah untuk dididik. Kita hukum sedikit karena kekurangajaran si murid, orang tua lapor ke polisi.”

Anto, Johan dan Udin terdiam sambil mendengarkan uneg-uneg dari guru SD mereka yang mereka sayangi. Dalam hati mereka turut merasakan kepedihan yang melanda para guru. Menjelang hari guru*) yang akan jatuh sebentar lagi mereka datang ke rumah Pak Ahmad untuk menyampaikan sedikit hadiah sebagai tanda terima kasih atas jasanya dalam mendidik mereka. Itupun karena anjuran guru ngaji mereka, Ustadz Sholihin.
Baru sekarang mereka tahu betapa berat beban yang harus ditanggung oleh para guru berkaitan dengan penghasilan mereka yang sering tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari serta pengorbanan yang diberikan dalam mendidik mereka. Rasa sesal meliputi hati mereka karena baru sekarang mereka datang setelah sekian tahun lulus dari sekolah dasar sambil membawa hadiah yang tidak seberapa dibanding kerja keras guru mereka dulu.

*****

Para guru menghantarkan anak didiknya untuk menuju masa depan yang cemerlang. Tapi kecemerlangan masa depan itu bukan milik para guru. Kecemerlangan itu milik anak-anak kecil yang dulu dididik dan diajari tentang ilmu pengetahuan, yang sekarang entah di mana kepeduliannya.
*) Di Indonesia Hari Guru Nasional diperingat setiap tanggal 25 November bersama hari ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Hari Guru Nasional bukan hari libur resmi, dan dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.
-------------------00-------------------

Cerpen Sekolahku di bawah Lembah

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.

Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.

Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.

“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.

“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.

Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman.

Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”

“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.

“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum.

Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”

Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”

Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.

“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku.

“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.

“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!***

KISAH THUMBELINA

 

Once upon atime . Setelah pada atime. . . . . there lived a woman who had no children. hiduplah seorang wanita yang tidak punya anak. She dreamed of having a little girl, but time went by, and her dream never came true. Dia bermimpi memiliki seorang gadis kecil, tapi waktu berlalu, dan mimpinya pernah terwujud.


She then went to visit a witch, who gave her a magic grain of barley. Dia kemudian pergi mengunjungi seorang penyihir, yang memberinya sebutir ajaib jelai. She planted it in a flower pot. Dia ditanam dalam sebuah pot bunga. And the very next day, the grain had turned into a lovely flower, rather like a tulip. Dan keesokan harinya, gandum telah berubah menjadi bunga yang indah, agak mirip tulip. The woman softly kissed its half-shut petals. Wanita itu mencium lembut setengah tertutup kelopak nya. And as though by magic, the flower opened in full blossom. Dan seolah-olah dengan sihir, bunga mekar penuh dibuka di. Inside sat a tiny girl, no bigger than a thumb. Di dalam duduk seorang gadis kecil, tidak lebih besar dari ibu jari. The woman called her Thumbelina. Wanita itu disebut Thumbelina nya. For a bed she had a walnut shell, violet petals for her mattress and a rose petal blanket. Untuk tempat tidur dia shell kenari, kelopak bunga violet untuk kasur dan selimut kelopak mawar. In the daytime, she played in a tulip petal boat, floating on a plate of water. Pada siang hari, ia bermain di sebuah perahu kelopak bunga tulip, mengambang di piring air. Using two horse hairs as oars, Thumbelina sailed around her little lake, singing and singing in a gentle sweet voice. Menggunakan dua rambut kuda sebagai dayung, Thumbelina berlayar di sekitar danau kecilnya, bernyanyi dan bernyanyi dengan suaranya yang manis lembut.
Then one night, as she lay fast asleep in her walnut shell, a large frog hopped through a hole in the window pane. Kemudian suatu malam, saat ia berbaring tidur nyenyak dalam dirinya walnut shell, katak besar melompat melalui lubang di kaca jendela. As she gazed down at Thumbelina, she said to herself: "How pretty she is! She'd make the perfect bride for my own dear son!" Saat dia menatap ke bawah pada Thumbelina, ia berkata pada dirinya sendiri: "Bagaimana cantiknya dia Dia akan membuat pengantin yang sempurna untuk anak sendiri sayang!"
She picked up Thumbelina, walnut shell and all, and hopped into the garden. Dia mengambil Thumbelina, kenari shell dan semua, dan melompat ke kebun. Nobody saw her go.Back at the pond, her fat ugly son, who always did as mother told him, was pleased with her choice. Tidak ada yang melihat go.Back nya di kolam, anak gemuk jelek itu, yang selalu melakukan sebagai ibu mengatakan padanya, senang dengan pilihannya. But mother frog was afraid that her pretty prisoner might run away. Tapi ibu katak takut bahwa tahanan yang cantik mungkin melarikan diri. So she carried Thumbellna out to a water lily leaf ln the middle of the pond. Jadi dia melakukan Thumbellna ke air daun teratai Pada tengah kolam.
"She can never escape us now," said the frog to her son. "Dia tidak pernah bisa melepaskan diri kita sekarang," kata katak untuk anaknya.
"And we have plenty of time to prepare a new home for you and your bride." "Dan kita punya banyak waktu untuk mempersiapkan rumah baru untuk Anda dan pengantin Anda." Thumbelina was left all alone. Thumbelina ditinggalkan sendirian. She felt so desperate. Dia merasa begitu putus asa. She knew she would never be able to escape the fate that awaited her with the two horrid fat frogs. Dia tahu dia tidak akan pernah bisa lepas dari nasib yang menantinya dengan dua katak lemak mengerikan. All she could do was cry her eyes out. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis matanya keluar. However, one or two minnows who had been enjoying the shade below the water lily leaf, had overheard the two frogs talking, and the little girl's bitter sobs. Namun, satu atau dua ikan kecil yang telah menikmati keteduhan di bawah daun bunga lili air, telah mendengar dua katak berbicara, dan terisak-isak pahit gadis kecil itu. They decided to do something about it. Mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu tentang hal itu. So they nibbled away at the lily stem till it broke and drifted away in the weak current. Jadi mereka menggigit jauh di batang lili sampai pecah dan melayang jauh di arus lemah. A dancing butterfly had an idea: "Throw me the end of your belt! I'll help you to move a little faster!" Sebuah kupu-kupu menari punya ide: "Lemparkanlah saya akhir sabuk Anda, saya akan membantu Anda untuk bergerak sedikit lebih cepat!" Thumbelina gratefully did so, and the leaf soon floated away from the frog pond. Thumbelina syukur melakukannya, dan daun segera melayang pergi dari kolam katak.
But other dangers lay ahead. Tapi bahaya lainnya di depan. A large beetle snatched Thumbelina with his strong feet and took her away to his home at the top of a leafy tree. Sebuah kumbang besar menyambar Thumbelina dengan kaki yang kuat dan membawanya pergi ke rumahnya di puncak pohon berdaun.
"Isn't she pretty?" "Bukankah dia cantik?" he said to his friends. ia berkata kepada teman-temannya. But they pointed out that she was far too different. Tetapi mereka mengatakan bahwa ia jauh terlalu berbeda. So the beetle took her down the tree and set her free. Jadi kumbang membawanya turun dari pohon dan membebaskannya.
It was summertime, and Thumbelina wandered all by herself amongst the flowers and through the long grass. Saat itu musim panas, dan Thumbelina berkelana seorang diri di antara bunga-bunga dan melalui rumput panjang. She had pollen for her meals and drank the dew. Dia serbuk sari untuk makan dan minum embun. Then the rainy season came, bringing nastyweather. Kemudian musim hujan datang, membawa nastyweather. The poor child found it hard to find food and shelter. Anak miskin merasa sulit untuk menemukan makanan dan tempat berlindung. When winter set in, she suffered from the cold and felt terrible pangs of hunger. Ketika musim dingin ditetapkan dalam, dia menderita kedinginan dan merasa kepedihan mengerikan kelaparan.
One day, as Thumbelina roamed helplessly over the bare meadows, she met a large spider who promised to help her. Suatu hari, sebagai Thumbelina menjelajahi tak berdaya di atas padang rumput terbuka, dia bertemu laba-laba besar yang berjanji untuk membantunya. He took her to a hollow tree and guarded the door with a stout web. Dia membawanya ke sebuah pohon berongga dan menjaga pintu dengan web kokoh. Then he brought her some dried chestnuts and called his friends to come and admire her beauty. Lalu ia membawakan chestnut kering dan memanggil teman-temannya untuk datang dan mengagumi kecantikannya. But just like the beetles, all the other spiders persuaded Thumbelina's rescuer to let her go. Tapi sama seperti kumbang, laba-laba lainnya semua membujuk penyelamat Thumbelina untuk membiarkan dia pergi. Crying her heart out, and quite certain that nobody wanted her because she was ugly, Thumbelina left the spider's house. Menangis hatinya dia, dan cukup yakin bahwa tak seorang pun ingin karena dia jelek, Thumbelina meninggalkan rumah laba-laba.
As she wandered, shivering with the cold, suddenly she came across a solid little cottage, made of twigs and dead leaves. Saat ia berjalan, menggigil kedinginan, tiba-tiba ia menemukan sebuah pondok kecil yang solid, terbuat dari ranting dan daun mati. Hopefully, she knocked on the door. Mudah-mudahan, dia mengetuk pintu. It was opened by a field mouse. Itu dibuka oleh tikus sawah.
"What are you doing outside in this weather?" "Apa yang Anda lakukan di luar dalam cuaca ini?" he asked. dia bertanya. "Come in and warm yourself." "Masuklah dan hangat dirimu sendiri." Comfortable and cozy, the field mouse's home was stocked with food. Nyaman dan nyaman, rumah tikus sawah itu penuh dengan makanan. For her keep, Thumbelina did the housework and told the mouse stories. Baginya tetap, Thumbelina melakukan pekerjaan rumah dan menceritakan cerita-cerita mouse. One day, the field mouse said a friend was coming to visit them. Suatu hari, tikus sawah kata seorang teman datang untuk mengunjungi mereka.
"He's a very rich mole, and has a lovely house. He wears a splendid black fur coat, but he's dreadfully shortsighted. He needs company and he'd like to marry you!" "Dia sangat kaya mol, dan memiliki rumah yang indah Dia memakai mantel bulu yang indah hitam,. Tapi dia sangat sempit. Ia kebutuhan perusahaan dan dia ingin menikah denganmu!" Thumbelina did not relish the idea. Thumbelina tidak menyukai gagasan itu. However, when the mole came, she sang sweetly to him and he fell head over heels in love. Namun, ketika mol tiba, ia bernyanyi manis kepadanya dan ia jatuh kepala atas tumit cinta. The mole invited Thumbelina and the field mouse to visit him, but . Mol mengundang Thumbelina dan mouse lapangan untuk mengunjunginya, tapi. . . . . to their surprise and horror, they came upon a swallow in the tunnel. untuk mengejutkan mereka dan ketakutan, mereka tiba di sebuah menelan di dalam terowongan. It looked dead. Ini tampak mati. Mole nudged it wi his foot, saying: "That'll teach her! She should have come underground instead of darting about the sky all summer!" Mole ratakan wi kakinya, mengatakan: "Itu akan mengajarkan padanya Dia seharusnya datang bukan tanah melesat tentang langit musim panas!" Thumbelina was so shocked by such cruel words that later, she crept back unseen to the tunnel. Thumbelina sangat terkejut dengan kata-kata yang kejam seperti itu nanti, dia merayap kembali terlihat ke terowongan.
And every day, the little girl went to nurse the swallow and tenderly give it food. Dan setiap hari, gadis kecil pergi ke perawat menelan dan lembut memberikan makanan.
In the meantime, the swallow told Thumbelina its tale. Sementara itu, menelan kata Thumbelina kisah nya. Jagged by a thorn, it had been unable to follow its companions to a warmer climate. Bergerigi oleh duri, itu telah mampu untuk mengikuti teman untuk iklim yang lebih hangat.
"It's kind of you to nurse me," it told Thumbelina. "Ini semacam Anda untuk perawat saya," katanya pada Thumbelina. But, in spring, the swallow flew away, after offering to take the little girl with it. Tapi, di musim semi, menelan terbang menjauh, setelah menawarkan untuk mengambil gadis kecil dengan itu. All summer, Thumbelina did her best to avoid marrying the mole. Sepanjang musim panas, Thumbelina melakukan yang terbaik untuk menghindari menikah mol. The little girl thought fearfully of how she'd have to live underground forever. Gadis kecil takut memikirkan bagaimana ia harus hidup di bawah tanah selamanya. On the eve of her wedding, she asked to spend a day in the open air. Pada malam pernikahannya, ia diminta untuk menghabiskan hari di udara terbuka. As she gently fingered a flower, she heard a familiar song: "Winter's on its way and I'll be off to warmer lands. Come with me!" Ketika dia meraba dengan lembut bunga, dia mendengar sebuah lagu yang akrab: "Winter perjalanan dan aku akan berangkat ke tanah hangat Ikut aku!." Thumbelina quickly clung to her swallow friend, and the bird soared into the sky. Thumbelina cepat menempel ke teman menelan, dan burung itu menjulang ke langit. They flew over plains and hills till they reached a country of flowers. Mereka terbang di atas dataran dan bukit-bukit sampai mereka mencapai negara bunga. The swallow gently laid Thumbelina in a blossom. Menelan lembut diletakkan Thumbelina dalam sebuah mekar. There she met a tiny, white-winged fairy: the King of the Flower Fairies. Di sana ia bertemu dengan seorang, kecil putih bersayap peri: Raja Peri Bunga. Instantly, he asked her to marry him. Seketika, ia memintanya untuk menikah dengannya. Thumbelina eagerly said "yes", and sprouting tiny white wings, she became the Flower Queen! Thumbelina bersemangat mengatakan "ya", dan tumbuh sayap putih kecil, ia menjadi Ratu Bunga!

BELAJAR

SADGRRWEURT6666666664IOK,HJBM,VGCBHDFHFD

Cinta Sejati


Lirik Lagu Monita Idol Kekasih Sejati
aku yang memikirkan
namun aku tak banyak berharap
kau membuat waktuku
tersita dengan angan tentangmu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
mencoba lupakan
tapi ku tak bisa
mengapa begini
reff:
oh mungkin aku bermimpi menginginkan dirimu
untuk ada di sini menemaniku
oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku
semoga tak sekedar harapku
ku coba lupakan
tapi ku tak bisa
mengapa begini
repeat reff
bila kau tlah menjadi milikku
aku takkan menyesal kelak
telah jatuh hati
repeat reff
semoga tak sekedar harapku
Tanggal Publikasi: 06/08/2007

» INFORMASI TAMBAHAN
gambar Monita Idol 
Kekasih Sejati image
Judul Lagu   : Kekasih Sejati
Penyanyi     : Monita Idol
 
DISCLAIMER: Teks lagu di atas adalah hak cipta / hak milik dari pengarang, artis, dan label musik yg bersangkutan. Seluruh media -- termasuk syair, download MP3, ringtone, kord / kunci gitar, serta video klip -- yang tersedia di situs ini hanyalah untuk keperluan promosi dan evaluasi. Kami juga tidak menyediakan file MP3 di server kami. Jika Anda suka dengan single ini , belilah kaset / CD atau nada sambung pribadi (NSP/RBT)-nya untuk mendukung artis / penyanyi / grup band yang bersangkutan agar terus berkarya.